The Legend of Zaenal Combo
Selasa, 02 September 2008

ZAENAL ARIFIN (1935-2002)
Dirilis dari:
Post by yudhie on Nov 19, 2006, 11:42pm
Perbincangan Muzik » Sumbangsih » ZAENAL ARIFIN (1935-2002)
http://hamlau.proboards44.com/index.cgi?board=sumbangsih&action=display&thread=221
Lagu "Teluk Bayur" cukup popular pada pertengahan tahun 60-an. Penyanyinya ialah Ernie Djohan. Siapakah penciptanya? EP nyanyian Ernie Djohan yang diedarkan oleh Philips - RE 112605 yang mencatatkan lagu itu sebagai "Teluk Bayur" tidak mencatatkan nama penciptanya. Dari beberapa sumber diketahui bahawa lagu "Teluk Bayur" adalah hasil karya Zaenal Arifin pemimpin Band Zaenal Combo yang mengiringi rakaman Ernie Djohan itu.
Majalah "Pertiwi" terbitan Jakarta pada pertengahan tahun 1988 dalam ruangan "Di Mana Dia Sekarang?" menulis tentang Zaenal Arifin di bawah judul "Jalan Panjang Zaenal Arifin". Petikannya dipaparkan di sini.
JALAN PANJANG ZAENAL ARIFIN
Ketika musik memberinya kekayaan, popularitas dan sanjungan, Zaenal Arifin seperti tak puas. Dia pun lantas membuka rumah makan, menjadi bos armada truk, taksi, bemo, bahkan becak. Tetapi hidup berputar seperti roda. Semua yang dulu menjadi miliknya, kini telah habis. Bahkan musibah ikut menerpanya. Ibunya meninggal ketika dia tergolek di rumah sakit karena kakinya patah dalam kecelakaan. Dendamkah Zaenal pada kehidupan ini?
Tidak! Itulah jawabannya. "Saya selalu sadar, bahwa popularitas akan menurun, dan kekayaan hanyalah titipan Tuhan. Ini menurut apa yang saya dapatkan dari ayah saya," tutur Zaenal Arifin yang kini berusia 52 tahun.
Nama Zaenal Arifin sangat akrab dengan dunia musik pop kita. Dengan bandnya Zaenal Combo, dia sempat menjadi orang yang paling penting dalam kancah musik pop Indonesia di seputar tahun enam puluhan. Anda masih ingat lagu "Teluk Bayur"? Itu merupakan satu dari sekian buah ciptaannya. Penyanyinya, Ernie Johan langsung berada di puncak ketenaran.
Sebagai musikus dia termasuk serba bisa. Di luar kemampuan jari-jarinya menggelitik dawai gitar untuk merangkai melodi, dia juga mahir mencipta lagu dan membuat aransemen. Namun yang paling menonjol adalah kemampuannya "mengawinkan" lagu dengan penyanyi yang cocok untuk lagu-lagu itu. Kemampuan inilah yang kemudian menjadikannya sebagai talent scout. Dari tangannya muncul penyanyi-penyanyi dengan nama besar. Elly Kasim, Ernie Johan, Tetty Kadi, Anna Mathovani, Cicik Suwarno, Tuty Subardjo, Lilis Suryani, Alfian, Heny Purwonegoro, dan "masih kira-kira dua puluh orang lagi. Saya lupa nama mereka," tutur Zaenal tanpa ekspresi.
Sedangkan dari kalangan musisi, yang pernah bergabung bersama dalam Zaenal Combo, tercatat nama-nama seperti Enteng Tanamal, A. Riyanto, Fuad (drummer yang kemudian meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas), M. Sani dan beberapa orang lagi yang kini sudah memiliki nama besar.
Namun yang paling menentukan dalam suksesnya sebagai pemusik adalah kejeliannya dalam membaca suasana yang sedang melanda masyarakat. Misalnya saja ketika masyarakat kita menggandrungi jenis musik gaya Bill Halley, Harry Belafonte, Pat Boone dan Elvis Presley, Zaenal "mencuri" teknik mereka, lalu memasukkannya ke dalam musik Indonesia. Ini terlihat dalam lagu "Bengawan Solo" yang dinyanyikan oleh Oslan Husein almarhum. Band yang mengiringinya adalah "Teruna Ria", sebuah grup musik yang didirikan Zaenal Arifin bersama Hasbullah, ayah dari Elfa Secoria Ridwan, pemusik muda yang cukup cemerlang saat ini. Lagu "Bengawan Solo" yang mengandung unsur gaya Bill Halley mendapat sambutan hangat dari pencinta musik di tanah air. Hingga sempat dijuluki sebagai "musik tuan rumah".
Selain mendirikan "Teruna Ria", Zaenal juga membentuk band "Kinantan" bersama Elly Sri Kudus, almarhumah. Sesuai dengan namanya, "Kinantan" lebih banyak memainkan lagu-lagu dari tanah Sumatera, terutama Minang. Tidak seperti lagu-lagu Minang konvensional, karena Zaenal membubuhi ritme gaya Amerika Latin dalam musiknya. Kedua grup musik ini didirikannya tahun 1957.
Wartawan
Sesungguhnya Zaenal sendiri tidak pernah merencanakan hidup dan mencari penghidupan dari musik. Bidang yang amat menarik minatnya ketika masih di SMA di Bandung adalah jurnalistik. Itulah sebabnya ketika lulus tahun 1955, dia segera pergi ke Jakarta untuk masuk Institut Jurnalistik yang saat itu berlokasi di Jalan Diponegoro. Persis di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Dua bulan kuliah di Jakarta dia bertemu dengan Sadeli, salah seorang temannya di SMA di Bandung. Sadeli adalah partner Zaenal dalam grup musik di sekolahnya. Dalam pertemuan itu Sadeli mengajak Zaenal pergi ke Bandung untuk mendirikan grup. Di sana dia bergabung dengan Kuswara (sekarang penyiar radio Australia), Agus, dan Ucu Kuswati, pemain piano.
Namun di Bandung dia tak lama."Saya kurang cocok dengan musik mereka yang lebih banyak dipengaruhi oleh gaya Latin dan irama jazz," kilah Zaenal.
Lepas dari rekan-rekannya di Bandung, Zaenal kembali ke Jakarta. Di sinilah dia membentuk "Kinantan" dan "Teruna Ria". Dan secara perlahan kesadarannya muncul. Bahwa ternyata dia lebih cocok hidup di dunia musik daripada harus menjadi wartawan.
Zaenal ternyata seorang yang tak pernah statis dalam satu gaya atau keadaan. Buktinya, dia pun tak lama bergabung dalam "Kinantan" dan "Teruna Ria". Kira-kira tahun 1963 dia mendirikan "Zaenal Combo" yang dipimpinnya sendiri.
Kelompok baru ini beranggotakan Gozali, Jauhari, Yance Mailuhu dan Izar. Mereka adalah karyawan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Lalu seperti Kinantan dan Teruna Ria, grup ini pun banyak mengambil teknik dari luar. Yang kebetulan mereka serap adalah "The Shadows", "The Ventures" dan kemudian "The Beatles", yang sempat menjadi semacam wabah di kalangan anak muda negeri ini.
Ternyata, kebiasaan menyerap teknik dari luar melahirkan sesuatu yang positif dalam diri Zaenal. Ini terlihat di tahun 1964 ketika dia bereksperimen dengan mengawinkan talempong dan saluang, instrumen musik daerah Minang, dengan alat-alat musik modern. Hasilnya? Lagu-lagu: "Lansek Manih", "Sinar Riau" dan "Anak Salido", mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Penyanyi lagu-lagu ini adalah Elly Kasim, biduanita yang kemudian menjadi amat populer hingga saat ini.
Piringan hitamnya yang memuat 8 lagu meledak di pasaran.
Sukses dengan eksperimen ini, Zaenal Combo beralih kepada Patty Sisters, dua kakak beradik berdarah Ambon, yang muncul dalam duet yang kompak dan harmonis. Bersamaan dengan itu masyarakat sedang gandrung kepada penyanyi Connie Francis. Maka sudah bisa diterka kemudian, Zaenal mengajukan lagu Indonesia dengan gaya Connie Francis. Musiknya merupakan adonan antara keroncong, gaya The Shadows dan gaya The Beatles. Apa reaksi teman-temannya saat itu? Ulah Zaenal dianggap kampungan. Bahkan mulanya, Patty bersudara pun menolak menyanyikannya.
Namun apa yang terjadi kemudian? Ternyata lagu-lagu ini pun mampu menjadi bom di pasaran. Bahkan kemudian orang-orang menjuluki musik garapan Zaenal ini sebagai "Zaenal Beat". Lagu-lagunya antara lain: "Soleram", "Darmawisata" dan "Riung Gunung".
Jika kemudian Zaenal berani mengatakan bahwa dialah yang pertama kali merakit musik daerah dengan musik nasional, mungkin ada benarnya. Karena pada masanya, memang belum ada orang yang berbuat seperti itu.
Dua ratus juta
Dalam perjalanan kariernya, Zaenal Arifin beberapa kali bongkar pasang grupnya. Masuknya Enteng Tanamal sekitar akhir tahun 1963 membawa kesegaran baru. Lalu muncul pula A. Riyanto, yang pada saat Zaenal Combo merekrut Tetty Kadi, mendapat kehormatan mencipta lagu-lagunya. Maka ledakan pun kali ini berganti dengan lagu-lagu "Pulau Seribu", "Teringat Selalu", "Kura-kura" dan banyak lagi.
Setelah Tetty inilah nama-nama penyanyi lainnya muncul dan mengorbit melalui tangan dingin Zaenal. Pada saat itu seperti sudah jadi jaminan, jika ditangani Zaenal Arifin, seorang penyanyi pasti terkenal.
Hal ini tentu saja menumbuhkan kepuasan moral bagi Zaenal Arifin. Pria berdarah Minang dari ayah, dan Sunda dari ibu yang lahir di Surakarta serta besar di Bandung ini pun semakin yakin bahwa panggilan hatinya memang musik. Dia dilahirkan untuk musik.
Kepuasan lainnya, menyangkut materiil. Dua buah rumah dibikinnya di Cisarua dan Bogor. Selain itu dia juga membuka restoran dengan nama Zaenal Combo, yang bertempat di Jalan Matraman, dekat pos pemadam kebakaran.
Masih belum puas, Zaenal pun membeli truk, 2 buah taksi, 7 bemo dan 20 becak. Mungkin ini dilakukannya untuk menjaga agar masa depannya tidak terlalu susah jika popularitas sudah menurun.
Namun di samping itu semua dia pun mulai berkenalan dengan casino dan berbagai bentuk judi lainnya. Inilah salah satu faktor yang turut merusak dirinya. Zaenal pernah kalah di meja judi dengan jumlah uang sebesar 200 juta rupiah. Ini terjadi di saat uang kita masih tinggi nilainya. "Bandingkan saja," ucap Zaenal, "saat itu sebuah lagu dibeli produser dengan harga 7.500 rupiah. Sekarang rata-rata 100.000 rupiah."
Menghilang
Mulai tahun 70-an apa yang diperkirakannya memang terjadi. Popularitasnya mulai menurun. Inilah roda kehidupan. Zaenal sadar dia tidak selalu akan berada di atas. Tetapi pada saatnya puncak popularitas harus diserahkannya kepada orang lain.
Namun haruskah dia menyerah? "Saya tak punya kamus menyerah," jawab Zaenal berapi-api. Dan dalam persaingan yang semakin tajam karena makin banyaknya pemusik dengan berbagai gaya dan alirannya, Zaenal terus memacu karier. Dia ibarat pelari tua yang tak mau mengalah walau napas sudah tersengal-sengal dimakan usia.
Pada saat ini pulalah harta benda yang didapatnya ketika masih jaya, mulai berkurang sedikit demi sedikit. Restorannya melayang, becak, bemo, dan taksinya pun digerogoti untuk biaya hidup.
Tahun 1973 usahanya untuk come back menjadi kenyataan. Dia muncul kembali dengan nama Zaenal Group. Kali ini dia tidak hanya mencipta lagu, tetapi juga menyanyikannya. Rekan-rekan yang mengiringinya adalah: A. Riyanto, Iwan dan Nana. Lagu-lagu yang dibawakannya antara lain "Ragunan" dan "Diam-diam Jatuh Hati".
Tetapi pemunculan ini kurang membawa keberuntungan. Mungkin selera masyarakat sudah bergeser. Apalagi saat itu grup-grup musik bermunculan bagai jamur di musim hujan. Yang berada di puncak popularitas adalah "The Mercy's" dan "Favourite Group". Maka Zaenal Group hanya mampu bertahan selama dua tahun. Setelah itu kembali tenggelam.
Tahun 1975 dia benar-benar menghilang dari kancah musik Indonesia. Orang pun sudah tidak begitu menghiraukannya. Zaenal Arifin adalah masa lalu. Yang berjaya adalah mereka yang mampu merebut pasaran di masa kini.
Tahun 1977, sekolah musik Yamaha mengambilnya untuk menjadi guru di Padang. Di sana dia mengajar di dua tempat, Medan Musik dan Budi Musik. Tetapi ini pun hanya berlangsung selama dua tahun. Rupanya dia lebih suka mengajar sendiri, tanpa berada di bawah lembaga apa pun. Maka sejak tahun 1980 dia mulai mengajar musik secara privat di Bogor, Cianjur dan Jakarta.
Tidak Dendam
Dijumpai di rumah kontrakannya yang terletak di Jalan BDN I Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Zaenal Arifin tampak memprihatinkan. Tubuhnya disanggah dua buah kruk, berjalan tertatih-tatih. "Sesungguhnya saya bisa berjalan tanpa kruk," katanya sambil berdiri. Lalu dicobanya berjalan satu, dua langkah. Namun tampak betapa sulitnya dia melakukan gerakan itu.
Di rumah yang berukuran kira-kira 8 x 8 meter itu, dia tinggal bersama istrinya, Pipit Sri Haryati, asal Bogor. Perempuan berkulit hitam manis dan selalu tampak ramah ini, ditemui Zaenal beberapa tahun lalu, ketika dia mengajar di TIM (Taman Ismail Marzuki). Dari Pipit ini Zaenal mendapatkan seorang anak laki-laki sehat dan berbakat tampan, Elvin namanya. Kini 3 tahun usianya. "Dengan dia," ucap Zaenal sambil menunjuk ke arah Pipit, "saya merasa sangat bahagia. Semoga menjadi istri yang terakhir bagi saya."
Selain istri dan anaknya, seorang cucu dan seorang pembantu juga menghuni rumah kecil itu. Cucunya yang lain berjumlah 4 orang lagi turut bersama anak-anak Zaenal Arifin yang didapatnya dari istrinya yang pertama. Sang istri bercerai dengan Zaenal pada tahun 1971 setelah menghadiahkan kepadanya 5 orang anak.
Kecelakaan yang mengakibatkan patahnya tulang kaki Zaenal Arifin terjadi pada 14 November 1987 jam 19.00 di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Suaranya bergetar sendu ketika menuturkan kembali kejadian itu. Yang menabrak menurut Zaenal adalah seorang warga negara Amerika Serikat yang sedang mencari alamat seseorang di malam hari bermandi gerimis. Nah, ketika alamat yang dicari itu diketemukan, mendadak sekali orang Amerika itu membelokkan mobilnya. Zaenal Arifin yang sedang memacu sepeda motornya di belakang, mencoba menghindari tabrakan. Namun terlambat. Dia terjatuh setelah motornya menabrak bodi sedan itu.
Malam itu juga Zaenal diangkut ke Rumah Sakit Fatmawati. Terlambat empat jam saja, bisa berakibat fatal. Kaki kiri yang nahas itu harus diamputasi. Untunglah, seorang dokter yang baik hati, menolongnya di saat si Dokter seharusnya pulang dari dinasnya.
Kepedihan Zaenal menjadi sempurna ketika dalam sakitnya yang parah itu, dia menerima berita yang amat mengharukan, ibunya meninggal dunia. "Saya tak sempat bertemu sebelum Ibu pergi," tuturnya dengan suara amat pelan.
Untunglah teman-temannya sesama seniman cukup memberikan perhatian yang besar. Elly Kasim, Eddy, temannya dari Zaenal Combo serta para artis yang tergabung dalam BKS Kostrad, secara sukarela mengulurkan bantuan untuk biaya rumah sakit. Dan yang paling lekat dalam ingatan Zaenal adalah kebaikan Darmawan dari Naviri Record yang mentackle segala biaya yang harus disediakan Zaenal pada saat sebelum operasi. Pada saat itu Zaenal sedang tidak punya uang.
Secara fisik Zaenal Arifin yang sekarang berbeda dengan Zaenal Arifin pengorbit para penyanyi dulu. Ini adalah Zaenal tua yang ketabahannya sedang diuji Tuhan.
Namun seperti yang dikatakannya, dia tidak dendam pada hidup ini.
Dirilis dari:
Post by yudhie on Nov 19, 2006, 11:42pm
Perbincangan Muzik » Sumbangsih » ZAENAL ARIFIN (1935-2002)
http://hamlau.proboards44.com/index.cgi?board=sumbangsih&action=display&thread=221
Lagu "Teluk Bayur" cukup popular pada pertengahan tahun 60-an. Penyanyinya ialah Ernie Djohan. Siapakah penciptanya? EP nyanyian Ernie Djohan yang diedarkan oleh Philips - RE 112605 yang mencatatkan lagu itu sebagai "Teluk Bayur" tidak mencatatkan nama penciptanya. Dari beberapa sumber diketahui bahawa lagu "Teluk Bayur" adalah hasil karya Zaenal Arifin pemimpin Band Zaenal Combo yang mengiringi rakaman Ernie Djohan itu.
Majalah "Pertiwi" terbitan Jakarta pada pertengahan tahun 1988 dalam ruangan "Di Mana Dia Sekarang?" menulis tentang Zaenal Arifin di bawah judul "Jalan Panjang Zaenal Arifin". Petikannya dipaparkan di sini.
JALAN PANJANG ZAENAL ARIFIN
Ketika musik memberinya kekayaan, popularitas dan sanjungan, Zaenal Arifin seperti tak puas. Dia pun lantas membuka rumah makan, menjadi bos armada truk, taksi, bemo, bahkan becak. Tetapi hidup berputar seperti roda. Semua yang dulu menjadi miliknya, kini telah habis. Bahkan musibah ikut menerpanya. Ibunya meninggal ketika dia tergolek di rumah sakit karena kakinya patah dalam kecelakaan. Dendamkah Zaenal pada kehidupan ini?
Tidak! Itulah jawabannya. "Saya selalu sadar, bahwa popularitas akan menurun, dan kekayaan hanyalah titipan Tuhan. Ini menurut apa yang saya dapatkan dari ayah saya," tutur Zaenal Arifin yang kini berusia 52 tahun.
Nama Zaenal Arifin sangat akrab dengan dunia musik pop kita. Dengan bandnya Zaenal Combo, dia sempat menjadi orang yang paling penting dalam kancah musik pop Indonesia di seputar tahun enam puluhan. Anda masih ingat lagu "Teluk Bayur"? Itu merupakan satu dari sekian buah ciptaannya. Penyanyinya, Ernie Johan langsung berada di puncak ketenaran.
Sebagai musikus dia termasuk serba bisa. Di luar kemampuan jari-jarinya menggelitik dawai gitar untuk merangkai melodi, dia juga mahir mencipta lagu dan membuat aransemen. Namun yang paling menonjol adalah kemampuannya "mengawinkan" lagu dengan penyanyi yang cocok untuk lagu-lagu itu. Kemampuan inilah yang kemudian menjadikannya sebagai talent scout. Dari tangannya muncul penyanyi-penyanyi dengan nama besar. Elly Kasim, Ernie Johan, Tetty Kadi, Anna Mathovani, Cicik Suwarno, Tuty Subardjo, Lilis Suryani, Alfian, Heny Purwonegoro, dan "masih kira-kira dua puluh orang lagi. Saya lupa nama mereka," tutur Zaenal tanpa ekspresi.
Sedangkan dari kalangan musisi, yang pernah bergabung bersama dalam Zaenal Combo, tercatat nama-nama seperti Enteng Tanamal, A. Riyanto, Fuad (drummer yang kemudian meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas), M. Sani dan beberapa orang lagi yang kini sudah memiliki nama besar.
Namun yang paling menentukan dalam suksesnya sebagai pemusik adalah kejeliannya dalam membaca suasana yang sedang melanda masyarakat. Misalnya saja ketika masyarakat kita menggandrungi jenis musik gaya Bill Halley, Harry Belafonte, Pat Boone dan Elvis Presley, Zaenal "mencuri" teknik mereka, lalu memasukkannya ke dalam musik Indonesia. Ini terlihat dalam lagu "Bengawan Solo" yang dinyanyikan oleh Oslan Husein almarhum. Band yang mengiringinya adalah "Teruna Ria", sebuah grup musik yang didirikan Zaenal Arifin bersama Hasbullah, ayah dari Elfa Secoria Ridwan, pemusik muda yang cukup cemerlang saat ini. Lagu "Bengawan Solo" yang mengandung unsur gaya Bill Halley mendapat sambutan hangat dari pencinta musik di tanah air. Hingga sempat dijuluki sebagai "musik tuan rumah".
Selain mendirikan "Teruna Ria", Zaenal juga membentuk band "Kinantan" bersama Elly Sri Kudus, almarhumah. Sesuai dengan namanya, "Kinantan" lebih banyak memainkan lagu-lagu dari tanah Sumatera, terutama Minang. Tidak seperti lagu-lagu Minang konvensional, karena Zaenal membubuhi ritme gaya Amerika Latin dalam musiknya. Kedua grup musik ini didirikannya tahun 1957.
Wartawan
Sesungguhnya Zaenal sendiri tidak pernah merencanakan hidup dan mencari penghidupan dari musik. Bidang yang amat menarik minatnya ketika masih di SMA di Bandung adalah jurnalistik. Itulah sebabnya ketika lulus tahun 1955, dia segera pergi ke Jakarta untuk masuk Institut Jurnalistik yang saat itu berlokasi di Jalan Diponegoro. Persis di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Dua bulan kuliah di Jakarta dia bertemu dengan Sadeli, salah seorang temannya di SMA di Bandung. Sadeli adalah partner Zaenal dalam grup musik di sekolahnya. Dalam pertemuan itu Sadeli mengajak Zaenal pergi ke Bandung untuk mendirikan grup. Di sana dia bergabung dengan Kuswara (sekarang penyiar radio Australia), Agus, dan Ucu Kuswati, pemain piano.
Namun di Bandung dia tak lama."Saya kurang cocok dengan musik mereka yang lebih banyak dipengaruhi oleh gaya Latin dan irama jazz," kilah Zaenal.
Lepas dari rekan-rekannya di Bandung, Zaenal kembali ke Jakarta. Di sinilah dia membentuk "Kinantan" dan "Teruna Ria". Dan secara perlahan kesadarannya muncul. Bahwa ternyata dia lebih cocok hidup di dunia musik daripada harus menjadi wartawan.
Zaenal ternyata seorang yang tak pernah statis dalam satu gaya atau keadaan. Buktinya, dia pun tak lama bergabung dalam "Kinantan" dan "Teruna Ria". Kira-kira tahun 1963 dia mendirikan "Zaenal Combo" yang dipimpinnya sendiri.
Kelompok baru ini beranggotakan Gozali, Jauhari, Yance Mailuhu dan Izar. Mereka adalah karyawan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Lalu seperti Kinantan dan Teruna Ria, grup ini pun banyak mengambil teknik dari luar. Yang kebetulan mereka serap adalah "The Shadows", "The Ventures" dan kemudian "The Beatles", yang sempat menjadi semacam wabah di kalangan anak muda negeri ini.
Ternyata, kebiasaan menyerap teknik dari luar melahirkan sesuatu yang positif dalam diri Zaenal. Ini terlihat di tahun 1964 ketika dia bereksperimen dengan mengawinkan talempong dan saluang, instrumen musik daerah Minang, dengan alat-alat musik modern. Hasilnya? Lagu-lagu: "Lansek Manih", "Sinar Riau" dan "Anak Salido", mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Penyanyi lagu-lagu ini adalah Elly Kasim, biduanita yang kemudian menjadi amat populer hingga saat ini.
Piringan hitamnya yang memuat 8 lagu meledak di pasaran.
Sukses dengan eksperimen ini, Zaenal Combo beralih kepada Patty Sisters, dua kakak beradik berdarah Ambon, yang muncul dalam duet yang kompak dan harmonis. Bersamaan dengan itu masyarakat sedang gandrung kepada penyanyi Connie Francis. Maka sudah bisa diterka kemudian, Zaenal mengajukan lagu Indonesia dengan gaya Connie Francis. Musiknya merupakan adonan antara keroncong, gaya The Shadows dan gaya The Beatles. Apa reaksi teman-temannya saat itu? Ulah Zaenal dianggap kampungan. Bahkan mulanya, Patty bersudara pun menolak menyanyikannya.
Namun apa yang terjadi kemudian? Ternyata lagu-lagu ini pun mampu menjadi bom di pasaran. Bahkan kemudian orang-orang menjuluki musik garapan Zaenal ini sebagai "Zaenal Beat". Lagu-lagunya antara lain: "Soleram", "Darmawisata" dan "Riung Gunung".
Jika kemudian Zaenal berani mengatakan bahwa dialah yang pertama kali merakit musik daerah dengan musik nasional, mungkin ada benarnya. Karena pada masanya, memang belum ada orang yang berbuat seperti itu.
Dua ratus juta
Dalam perjalanan kariernya, Zaenal Arifin beberapa kali bongkar pasang grupnya. Masuknya Enteng Tanamal sekitar akhir tahun 1963 membawa kesegaran baru. Lalu muncul pula A. Riyanto, yang pada saat Zaenal Combo merekrut Tetty Kadi, mendapat kehormatan mencipta lagu-lagunya. Maka ledakan pun kali ini berganti dengan lagu-lagu "Pulau Seribu", "Teringat Selalu", "Kura-kura" dan banyak lagi.
Setelah Tetty inilah nama-nama penyanyi lainnya muncul dan mengorbit melalui tangan dingin Zaenal. Pada saat itu seperti sudah jadi jaminan, jika ditangani Zaenal Arifin, seorang penyanyi pasti terkenal.
Hal ini tentu saja menumbuhkan kepuasan moral bagi Zaenal Arifin. Pria berdarah Minang dari ayah, dan Sunda dari ibu yang lahir di Surakarta serta besar di Bandung ini pun semakin yakin bahwa panggilan hatinya memang musik. Dia dilahirkan untuk musik.
Kepuasan lainnya, menyangkut materiil. Dua buah rumah dibikinnya di Cisarua dan Bogor. Selain itu dia juga membuka restoran dengan nama Zaenal Combo, yang bertempat di Jalan Matraman, dekat pos pemadam kebakaran.
Masih belum puas, Zaenal pun membeli truk, 2 buah taksi, 7 bemo dan 20 becak. Mungkin ini dilakukannya untuk menjaga agar masa depannya tidak terlalu susah jika popularitas sudah menurun.
Namun di samping itu semua dia pun mulai berkenalan dengan casino dan berbagai bentuk judi lainnya. Inilah salah satu faktor yang turut merusak dirinya. Zaenal pernah kalah di meja judi dengan jumlah uang sebesar 200 juta rupiah. Ini terjadi di saat uang kita masih tinggi nilainya. "Bandingkan saja," ucap Zaenal, "saat itu sebuah lagu dibeli produser dengan harga 7.500 rupiah. Sekarang rata-rata 100.000 rupiah."
Menghilang
Mulai tahun 70-an apa yang diperkirakannya memang terjadi. Popularitasnya mulai menurun. Inilah roda kehidupan. Zaenal sadar dia tidak selalu akan berada di atas. Tetapi pada saatnya puncak popularitas harus diserahkannya kepada orang lain.
Namun haruskah dia menyerah? "Saya tak punya kamus menyerah," jawab Zaenal berapi-api. Dan dalam persaingan yang semakin tajam karena makin banyaknya pemusik dengan berbagai gaya dan alirannya, Zaenal terus memacu karier. Dia ibarat pelari tua yang tak mau mengalah walau napas sudah tersengal-sengal dimakan usia.
Pada saat ini pulalah harta benda yang didapatnya ketika masih jaya, mulai berkurang sedikit demi sedikit. Restorannya melayang, becak, bemo, dan taksinya pun digerogoti untuk biaya hidup.
Tahun 1973 usahanya untuk come back menjadi kenyataan. Dia muncul kembali dengan nama Zaenal Group. Kali ini dia tidak hanya mencipta lagu, tetapi juga menyanyikannya. Rekan-rekan yang mengiringinya adalah: A. Riyanto, Iwan dan Nana. Lagu-lagu yang dibawakannya antara lain "Ragunan" dan "Diam-diam Jatuh Hati".
Tetapi pemunculan ini kurang membawa keberuntungan. Mungkin selera masyarakat sudah bergeser. Apalagi saat itu grup-grup musik bermunculan bagai jamur di musim hujan. Yang berada di puncak popularitas adalah "The Mercy's" dan "Favourite Group". Maka Zaenal Group hanya mampu bertahan selama dua tahun. Setelah itu kembali tenggelam.
Tahun 1975 dia benar-benar menghilang dari kancah musik Indonesia. Orang pun sudah tidak begitu menghiraukannya. Zaenal Arifin adalah masa lalu. Yang berjaya adalah mereka yang mampu merebut pasaran di masa kini.
Tahun 1977, sekolah musik Yamaha mengambilnya untuk menjadi guru di Padang. Di sana dia mengajar di dua tempat, Medan Musik dan Budi Musik. Tetapi ini pun hanya berlangsung selama dua tahun. Rupanya dia lebih suka mengajar sendiri, tanpa berada di bawah lembaga apa pun. Maka sejak tahun 1980 dia mulai mengajar musik secara privat di Bogor, Cianjur dan Jakarta.
Tidak Dendam
Dijumpai di rumah kontrakannya yang terletak di Jalan BDN I Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Zaenal Arifin tampak memprihatinkan. Tubuhnya disanggah dua buah kruk, berjalan tertatih-tatih. "Sesungguhnya saya bisa berjalan tanpa kruk," katanya sambil berdiri. Lalu dicobanya berjalan satu, dua langkah. Namun tampak betapa sulitnya dia melakukan gerakan itu.
Di rumah yang berukuran kira-kira 8 x 8 meter itu, dia tinggal bersama istrinya, Pipit Sri Haryati, asal Bogor. Perempuan berkulit hitam manis dan selalu tampak ramah ini, ditemui Zaenal beberapa tahun lalu, ketika dia mengajar di TIM (Taman Ismail Marzuki). Dari Pipit ini Zaenal mendapatkan seorang anak laki-laki sehat dan berbakat tampan, Elvin namanya. Kini 3 tahun usianya. "Dengan dia," ucap Zaenal sambil menunjuk ke arah Pipit, "saya merasa sangat bahagia. Semoga menjadi istri yang terakhir bagi saya."
Selain istri dan anaknya, seorang cucu dan seorang pembantu juga menghuni rumah kecil itu. Cucunya yang lain berjumlah 4 orang lagi turut bersama anak-anak Zaenal Arifin yang didapatnya dari istrinya yang pertama. Sang istri bercerai dengan Zaenal pada tahun 1971 setelah menghadiahkan kepadanya 5 orang anak.
Kecelakaan yang mengakibatkan patahnya tulang kaki Zaenal Arifin terjadi pada 14 November 1987 jam 19.00 di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Suaranya bergetar sendu ketika menuturkan kembali kejadian itu. Yang menabrak menurut Zaenal adalah seorang warga negara Amerika Serikat yang sedang mencari alamat seseorang di malam hari bermandi gerimis. Nah, ketika alamat yang dicari itu diketemukan, mendadak sekali orang Amerika itu membelokkan mobilnya. Zaenal Arifin yang sedang memacu sepeda motornya di belakang, mencoba menghindari tabrakan. Namun terlambat. Dia terjatuh setelah motornya menabrak bodi sedan itu.
Malam itu juga Zaenal diangkut ke Rumah Sakit Fatmawati. Terlambat empat jam saja, bisa berakibat fatal. Kaki kiri yang nahas itu harus diamputasi. Untunglah, seorang dokter yang baik hati, menolongnya di saat si Dokter seharusnya pulang dari dinasnya.
Kepedihan Zaenal menjadi sempurna ketika dalam sakitnya yang parah itu, dia menerima berita yang amat mengharukan, ibunya meninggal dunia. "Saya tak sempat bertemu sebelum Ibu pergi," tuturnya dengan suara amat pelan.
Untunglah teman-temannya sesama seniman cukup memberikan perhatian yang besar. Elly Kasim, Eddy, temannya dari Zaenal Combo serta para artis yang tergabung dalam BKS Kostrad, secara sukarela mengulurkan bantuan untuk biaya rumah sakit. Dan yang paling lekat dalam ingatan Zaenal adalah kebaikan Darmawan dari Naviri Record yang mentackle segala biaya yang harus disediakan Zaenal pada saat sebelum operasi. Pada saat itu Zaenal sedang tidak punya uang.
Secara fisik Zaenal Arifin yang sekarang berbeda dengan Zaenal Arifin pengorbit para penyanyi dulu. Ini adalah Zaenal tua yang ketabahannya sedang diuji Tuhan.
Namun seperti yang dikatakannya, dia tidak dendam pada hidup ini.
1 Comments:
Assalammu'alaikum Wr. Wb
Salam dari Bandrio (jawa timur), kepada Ibu Pipit Sri Haryati dan keluarga, yang menolong Almarhum pada saat kecelakaan dan sempat menghubungi keluarganya pada malam Ba'da Magrib,
Posting Komentar
<< Home